beritajogja.co – Bencana banjir yang melanda Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) menyebabkan kelumpuhan signifikan di berbagai kabupaten dan kota. Curah hujan tinggi dan luapan sungai menenggelamkan permukiman, memaksa puluhan ribu warga mengungsi dan membutuhkan pasokan logistik mendesak. Menanggapi situasi darurat ini, pemerintah daerah segera mengaktifkan mekanisme bantuan kemanusiaan skala besar. Satuan-Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) di seluruh provinsi mengambil peran sentral, mengubah fungsi awalnya menjadi pusat distribusi makanan bagi masyarakat terdampak.
Pusat Distribusi Makanan Aktif: Penyaluran Ratusan Ribu Paket Gizi
Aksi cepat penanggulangan banjir ini memprioritaskan kebutuhan pangan bagi masyarakat yang terisolasi. Dari total 470 SPPG yang beroperasi di Aceh, 105 unit secara sigap beralih fungsi menjadi dapur umum darurat. Mereka mengalihkan seluruh sumber daya dan penerima manfaat, dari semula melayani siswa sekolah, kini fokus menyalurkan makanan bergizi gratis kepada korban terdampak banjir. Hingga tanggal 7 Desember 2025, tim berhasil mendistribusikan total 563.676 paket makanan kepada warga yang membutuhkan. Angka fantastis lebih dari setengah juta porsi ini menunjukkan komitmen serius dalam memastikan ketahanan pangan di tengah krisis regional.
Tantangan Logistik dan Rincian Operasional SPPG
Mustafa Kamal, Kepala Regional SPPG Badan Gizi Nasional (BGN) NAD, menjelaskan tantangan besar yang tim mereka hadapi di lapangan. Dia memaparkan bahwa sebanyak 161 SPPG terpaksa menghentikan operasional karena berbagai kendala teknis yang belum teratasi. Selain itu, jaringan listrik dan telekomunikasi yang terputus menyebabkan tim gagal mendata 47 SPPG lainnya. Meskipun total 208 unit terhambat, 164 SPPG tetap beroperasi normal, dan 105 unit lainnya sukses menjalankan peran sebagai dapur umum. Operasi darurat ini membutuhkan koordinasi logistik yang intensif, mengingat skala bencana dan infrastruktur yang rusak.
Kondisi Kritis di Wilayah Terparah dan Upaya Adaptasi
Kondisi paling kritis terdeteksi di Kabupaten Aceh Tamiang dan Kabupaten Bener Meriah, wilayah yang menanggung beban terberat bencana alam ini. Di Aceh Tamiang, putusnya aliran listrik dan jaringan komunikasi menghambat pendataan 30 SPPG yang seharusnya berfungsi. Sementara itu, 11 SPPG di Kabupaten Bener Meriah terpaksa menghentikan semua operasi bantuan secara total. Namun, di daerah lain, adaptasi cepat terjadi: Kabupaten Bireun mengalihkan 21 dari 40 SPPG mereka menjadi dapur umum. Kabupaten Aceh Besar juga mengalihfungsikan 8 dari 37 SPPG yang mereka miliki untuk keperluan darurat.
Respon Regional, Dukungan Pemerintah Pusat, dan Implikasi
Respon penanganan bencana banjir Aceh ini juga mendapat perhatian tinggi dari pemerintah pusat. Presiden Prabowo Subianto bahkan mengunjungi dua SPPG yang beroperasi dan dialihfungsikan di Kabupaten Bireun, menegaskan fokus nasional terhadap krisis di Serambi Mekkah. Di ibu kota, Kota Banda Aceh, 10 SPPG turut mengalihkan layanan mereka untuk masyarakat terdampak, berkolaborasi dengan 10 unit yang berjalan normal. Upaya terpadu ini mencerminkan dampak bencana yang menyebar luas, melibatkan hampir seluruh kabupaten dan kota di provinsi ini. SPPG di Aceh Tenggara juga menunjukkan ketahanan, dengan 24 unit berfungsi normal dan 8 unit menjadi dapur umum tanpa ada yang berhenti beroperasi.
Transformasi cepat Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi menjadi pusat logistik darurat membuktikan kesiapsiagaan Pemerintah Aceh dan BGN dalam menghadapi krisis pangan. Inisiatif mendesak ini tidak hanya menyalurkan bantuan makanan, tetapi juga menguatkan solidaritas regional di tengah bencana alam Aceh. Penanganan banjir Aceh kali ini memberi pelajaran penting tentang pentingnya adaptasi fasilitas publik untuk kebutuhan darurat. Masyarakat perlu mengetahui data akurat ini untuk memahami skala bantuan kemanusiaan yang sedang berlangsung di lapangan. [gh]











