DaerahNasionalNewsPendidikan

Kerasan Dulu: Pesan Humanis Wapres Gibran untuk Pendidikan

×

Kerasan Dulu: Pesan Humanis Wapres Gibran untuk Pendidikan

Sebarkan artikel ini
Foto: Istimewa

beritajogja.co | 18 Juli 2025 – Kunjungan mendadak Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka ke Sekolah Rakyat Menengah Atas (SRMA) 17 Surakarta pada Jumat (18/7/2025) bukan sekadar inspeksi formal. Di balik kaos hitam, celana kargo, dan kotak-kotak donat yang dibawanya, terselip pesan mendalam tentang filosofi pendidikan: “Yang penting anak-anak kerasan dulu.” Pesan sederhana ini menjadi fondasi bagi sebuah revolusi kecil dalam memaknai keberhasilan pembelajaran.

Malam Pengabdian: Donat, Video Call, dan Pelukan dari Jauh.

Saat jarum jam menunjukkan pukul 20.30 WIB, Gibran muncul di asrama sekolah dengan membawa 18 kotak donat. Kedatangannya yang kedua kalia hari itu—setelah siang hari meninjau program Makan Bergizi Gratis (MBG)—digerakkan oleh empati personal: “Saya yakin ini kalau malam pasti pada kangen orang tuanya” .

Memori Merantau: Pengalamannya sekolah di luar negeri selepas SMP menjadi acuan. “Saya juga seumuran mereka… Kangen-kangen orang tuanya itu pasti pas sebelum jam tidur,” ujarnya .
Video Call Penghubung Rindu: Mengetahui aturan larangan membawa HP di asrama, Gibran membuka ponselnya untuk menghubungkan para siswa dengan orang tua. “Ini anaknya kangen ya Bu. Kok nangis,” sapa Gibran pada seorang ibu melalui layar .
Asrama sebagai Ruang Emosional: Ia menyambangi empat blok asrama (putra dan putri), membagikan camilan, dan memastikan ranjang tingkat serta kamar mandi layak digunakan.

Baca Juga: 15 Kelurahan di Solo Banjir, Gibran Komplain Ke BBWS

Adaptasi sebagai Fondasi: MPLS yang Memanusiakan.

Kunjungan Gibran terjadi pada hari kelima Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS). Kepada Kepala Sekolah Septhina Shinta Sari, ia menitipkan pesan krusial: fokuskan dulu pada kenyamanan psikologis anak, bukan target akademis .

“Beliau menitipkan anak-anak kepada saya. Yang penting anak kerasan dulu. Karena ini baru awal ya, baru di masa pengenalan lingkungan sekolah, biasa kangen dengan rumah”
~ Septhina Shinta Sari, Kepala SRMA 17 Surakarta

Strategi adaptasi yang dijalankan:

  1. Pendidikan Karakter Awal: Materi MPLS fokus pada kedisiplinan, baris-berbaris, dan pengenalan bakat.
  2. Fasilitas Penunjang Kenyamanan: Ruang pengembangan minat/bakat disediakan agar siswa menemukan identitas diri.
  3. Menu Bergizi sebagai Bahasa Kasih: Saat makan siang, Gibran memeriksa menu (nasi, ayam balado, capcay, tempe goreng, jeruk) dan memastikan gizi seimbang terpenuhi .

Suara Siswa: Dari Rindu ke Tawa
Oktaviani (15 tahun) mengaku awalnya menangis karena rindu rumah. Namun, lingkungan baru membantunya berubah: “Seru! Banyak teman baru, pengalaman baru. Fasilitasnya baik. Kami belajar kedisiplinan”.

Agustina Bintang, siswi lain, melihat SRMA sebagai tangga mobilitas sosial: “Saya bisa kuliah gratis, angkat derajat orang tua” .

Fasilitas yang mendukung:

  • 8 ruang kelas dengan kapasitas 35 siswa.
  • Asrama terpadu untuk 200 siswa (113 putra, 87 putra).
  • Sistem rehabilitasi sosial terintegrasi di bawah Kementerian Sosial .

Pesan untuk Pemerintah Daerah: Fasilitas dan Keamanan sebagai Prioritas.

Dalam dialog dengan Wali Kota Solo Respati Ardi, Gibran menekankan tiga hal konkret:
1. Fasilitas diperbarui secara berkala (kamar mandi, loker, tempat tidur).
2. Keamanan lingkungan sekolah diawasi ketat.
3. Interaksi guru-siswa dibangun dengan pendekatan kehangatan, bukan sekadar disiplin .

Makna “Kerasan” dalam Pendidikan: Filosofi yang Terlupakan.

Pesan “kerasan dulu” bukan sekadar slogan. Ia adalah kritik halus terhadap sistem pendidikan yang kerap mengabaikan psikologi perkembangan anak. Gibran mengingatkan bahwa:

  • Rasa aman mendahului kurikulum: Anak tidak bisa belajar optimal jika hati gelisah karena rindu atau takut.
  • Detail kecil adalah pondasi: Menu makanan, cara guru membangunkan siswa pagi hari, atau izin video call adalah “kurikulum tak terlihat” yang membangun kepercayaan.
  • Pendidikan adalah kerja kolaboratif emosi: Guru, orang tua, dan kebijakan pemerintah harus bersatu dalam memeluk kebutuhan psikis anak .

“Pendidikan dimulai bukan dari kurikulum, melainkan dari rasa nyaman. Dari anak yang merasa aman, diterima, dan bisa tersenyum saat belajar jauh dari rumah.”

Dari Surakarta untuk Indonesia.

Kunjungan Gibran ke SRMA 17 Surakarta adalah miniatur filosofi pendidikan yang ia usung: manusia sebelum angka, rasa sebelum prestasi. Di tengah gegap gempita target nilai UN, kurikulum padat, dan ranking sekolah, pesan “kerasan dulu” mengembalikan pendidikan pada khittahnya: membahagiakan manusia seutuhnya.

Ketika Gibran berjalan keluar dari asrama pukul 21.30 WIB, ia meninggalkan lebih dari donat dan video call. Ia mewariskan keyakinan: sekolah yang memanusiakan anak adalah sekolah yang kelak melahirkan prestasi sejati. Dan untuk Indonesia yang lebih manusiawi, mungkin kita perlu mulai bertanya: “Sudahkah anak-anak kita kerasan hari ini?”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *